Bagi seorang ibu ketika hamil, jenis kelamin laki-laki atau perempuan bukanlah hal yang paling diprioritaskan, yang didambakan seorang ibu hamil adalah bayinya lahir melalui persalinan yang lancar, ibu sehat, bayi juga sehat serta sempurna. Karena pengalaman melahirkan adalah pengalaman yang begitu indah. Saya lebih menyukai istilah melahirkan adalah pengalaman yang indah daripada harus menyebutnya sebagai pertarungan antara hidup dan mati. Kita harus membangun pemikiran yang positif bahwa semua perempuan seharusnya memberdayakan diri untuk melahirkan dengan indah, bagaimanapun proses kelahirannya, entah oprasi sesar atau kelahiran pervaginam. Semuanya indah karena perempuan melahirkan insan yang indah pula.
Memang ada beberapa tips atau program bagaimana cara memiliki anak laki-laki dan perempuan, baik cara bercinta, jadwal ovulasi kaitannya dengan waktu bercinta ataupun makanan yang dikonsumsi, tapi sekali lagi, untuk apakah hal itu? Kita tidak sedang hidup di zaman jahiliyah, bukan? Di mana jenis kelamin anak menjadi yang paling utama karena ada kaitannya dengan kehormatan, pertahanan nasab atau apa pun itu?
Kemudian pihak yang sering mendapatkan stigmatisasi tentang jenis kelamin bayi yang dilahirkan adalah perempuan atau seorang ibu. Saya pernah membaca curhatan seorang ibu yang intens menulis di grup fb tumbuh kembang anak, menanyakan tentang bagaimana caranya memiliki anak laki-laki karena suaminya menginginkan anak laki-laki, tulisan selanjutnya di grup dia berhasil hamil sudah memasuki trimester kedua dan USG jenis kelaminnya perempuan lagi, ia pun curhat jika anaknya lahir perempuan lagi maka ia akan diceraikan suaminya, ia bingung bukan kepalang. Bayangkanlah bagaimana perasaan seorang ibu saat itu, sudah hamil merupakan lemah yang bertambah-tambah, lelah fisik, kemudian ada ancaman-ancaman psikologis dari toxic relationship atau dari orang-orang terdekatnya. Saya tidak bisa membayangkan betapa hancur hatinya. Padahal menurut ilmu biologi bab reproduksi, laki-lakilah yang menentukan jenis kelamin bayi melalui sperma pembawa kromosom XY, sedangkan perempuan memiliki kromosom XX, jika kromosom laki-laki membawa kromosom X bergabung dengan kromosom perempuan X, maka jadilah anak perempuan (XX). Jika kromosom laki-laki membawa kromosom Y dan perempuan tetap dengan kromosom X maka jadilah anak laki-laki (XY). Maka akan menjadi aneh ketika perempuan yang disalahkan jika tidak mengandung anak dengan jenis kelamin tertentu yang didambakan oleh suatu keluarga. Bahkan ada suami yang ingin menikah lagi karena istrinya ‘tidak bisa’ melahirkan anak laki-laki. Mari upgrade ilmu pengetahuan agar tidak tersesat jalan. Sampai di sini, perlukah kita memilih akan memiliki anak dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan?
Banyak juga bertebaran artikel keutamaan memiliki anak laki-laki, kemudian ada artikel tandingan keutamaan memiliki anak perempuan, *hayyah kunu perang keutamaan 😂 intinya memiliki anak laki-laki dan perempuan sama saja, sama-sama memiliki tanggung jawab moral dan finansial.
Komentar-komentar tentang jenis kelamin anak yang menurut saya mom shaming juga harus dihindari, seperti;
“Wah hamil lagi ya? Semoga cowok ya, kan sudah ada cewek? Tinggal cowok yang belum.”
“Anaknya cowok-cowok kapan nih bikin anak cewek?”.
Memang pertanyaan seperti ini hanya sekadar basa-basi atau kalau kata orang Jawa abang-abang lambe turah, hanya pemanis untuk memulai obrolan. Di mana posisi kita? Apakah kita korban mom shaming atau jangan-jangan kita pelaku mom shaming? Mengapa saya mengategorikan hal ini sebagai mom shaming? Karena tidak semua orang tua legowo dengan pertanyaan seperti itu, terkadang komentar-komentar tersebut terdengar menjengkelkan, bikin mood menjadi buruk, baper.
Saya adalah seorang ibu yang memiliki 4 anak laki-laki dan satu anak perempuan yang sudah diambil Allah. Banyak kalimat annoying yang dilontarkan oleh orang-orang sekitar saya, seperti;
“Ayo coba lagi bikin yang cewek”,
“Yah kurang lengkap gak ada ceweknya”,
“Wah yang meninggal cewek kemarin bukan rezekinya ya! Ayo bikin lagi”.
Sampai pada hal yang benar-benar mengganggu saya adalah kalimat
“Kamu gak bakat punya anak perempuan, makannya yang dulu itu meninggal”.
Saya mencoba untuk self healing, bangkit dari trauma melahirkan anak perempuan saya yang telah meninggal. Termasuk trauma dari komentar orang lain. Anak perempuan saya yang saya beri nama Adibah Azzuhdiyah dan meninggal pada hari kelahirannya bukan berarti belum rezeki saya. Bagaimana pun dia tetap menjadi rezeki saya yang terbesar, saya memilikinya dan Tuhan yang mengasuhnya, nikmat mana lagi yang harus saya dustakan?, kesedihan mana lagi yang harus saya ratapi? Sedangkan saya diberikan Tuhan mandat untuk mengasuh keempat kakak dan adik Adibah.
Tapi sejatinya kita semua ini berproses, saya tidak bisa dong mengeluh dengan komentar dan penilaian orang lain, sedangkan orang lain yang berkomentar kepada kita nyatanya dalam keadaan tidak berniat menyakiti. Ini mengingatkan saya dahulu di mana saya juga kerap komentar menyinggung kepada orang lain, misalkan saat saya bertemu dengan teman lama saya, ia belum menikah sedangkan saya sudah punya anak 2, dengan enthengnya saya bertanya;
“Loh kamu belum nikah ya? Buruan, aku aja sudah punya anak 2 masak kamu belum nikah”
“Kemanten baruuu sudah isi beloom?”.
Dan beberapa komentar-komentar jahat dari saya kepada teman-teman saya. Saya dulu juga entheng banget menganggap hal itu adalah biasa, tidak ada niat menyakiti. Tuhan adil dengan membiarkan saya merasakan sakitnya ditusuk kata-kata. Setelah peristiwa demi peristiwa saya baru sadar, sudahlah mari diputus mata rantai mempermalukan orang lain. Bukan saatnya merendahkan, bukan saatnya mom shaming, bukan saatnya abang-abang lambe yang ternyata menyakitkan, berfikir dulu sebelum berkata, jangan sampai kecepatan kata-kata mendahului fikiran dan empati.
gambar hanya pemanis 😶 |
Kembali lagi ke persoalan jenis kelamin bayi. Meskipun tidak bisa dipungkiri kita menginginkan anak laki-laki atau perempuan, tapi mari coba kita fikir, untuk apa kita memilih punya anak laki-laki? Mengharuskan punya anak perempuan? Bukankah menikah lalu hamil adalah berkah dari Tuhan? Tidak cukupkah berterima kasih dan berdoa untuk kesehatan dan keselamatan bayi yang dikandung?
“Janin dalam kandungan mempunyai unsur yang sangat sederhana yaitu perasaan. Dia tidak punya keinginan dan dia belum punya kemauan. Dia suci dan dia sudah mampu merekam semua kejadian dan peristiwa yang menimpanya, ibunya maupun yang ada di lingkungannya.” (Bidan Yessie)
Apa jadinya jika orang tuanya memilih harus perempuan atau harus laki-laki, sedangkan jenis kelamin janin sudah terbentuk pada saat dia menjadi sebuah embrio, bayangkan bagaimana perasaannya? Apakah dia akan merasa tertolak karena takdirnya? Kehamilan adalah anugerah terindah, bagaimana pun perjuangannya demi menjaga kehamilannya. Mampu menjaganya dari awal kehamilan sampai lahir juga membesarkannya kelak adalah cita-cita mulia yang ingin selalu diwujudkan.
*Robbi laa tadzarni fardan wa anta khoirul waaritsiin
*Robbi hab lii minas shaalihiin
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Budayakan berkomentar ヽ(^。^)ノ