Saat itu pukul 10 pagi, Ning Firda mengabariku kalau sudah sampai di rumahku selepas syuting acara kiswah female TV9 di Surabaya, aku datang dan menyambut beliau dengan penuh rindu. Ning Firda mengajak dua temannya yang bernama Mbak Ulfi dan Mbak Marsya. Sesuai dengan janji kami beberapa hari yang lalu bahwa beliau ingin sowan ke ndalem Mbah Yai Husein, ulama kharismatik dari Mojokerto, dan sepulang dari Mbah Yai Husein kami juga berencana sowan Mbak Eny Kemeresek, seleb fb yang status-statusnya no drama, sesuai realita, bahasanya anti mainstream, Crazy Rich Mojokerto, dan orator inspirator ulung bagi perempuan yang ingin menikmati hidup dengan cara yang gila pula. Prinsip hidupnya adalah
“sambat hanya untuk orang yang lemah, kami kaum yang kuat lebih suka misuh”
Sebagai santri dari Mbah Yai Husein, aku berkenan mengantarkan Ning Firda beserta teman-teman dan pastinya aku bakal senang meskipun sekadar mengantarkan ke ndalem tanpa harus ikut sowan karena aku di sana akan bertemu dengan putra-putri dari Mbah Yai Husein yang merupakan sahabatku sejak kuliah, dan lagi gimana ya, ketemu guru itu rasanya ndredeg, mati gaya dengan segala kekikukan diri yang entah sulit untuk digambarkan. Setiap menjadi pengantar orang yang ingin bertemu dengan Mbah Yai Husein aku selalu sembunyi dan memilih ngobrol bersama putra-putri Mbah Yai setelah tugas selesai mengantarkan tamu sesuai alamat. Kecuali saat mengantar Ning Ienas dan Yai Ulil sowan Mbah Yai, aku nderekaken beliau karena aku bertugas menjadi dokumenter 😁
baju coklat Mbak Marsya, baju kuning Mbak Ulfi, baju ijo Ning Firda, dan aku yang mungil ini 😌 |
Di rumahku kami ngobrol tentang beberapa hal yang unfaedah seperti enaknya Bumbu Mahmudah yang dibikin ibu-ibu pengajian di Sidoarjo. Selebihnya kami bernarsis mugholadloh di ruang baca dan berbagi tips tentang kiat-kiat menjadi perempuan bahagia meski patah hati berkali-kali. Waktu berlalu hingga memasuki dzuhur, kami segera berangkat untuk sowan ke Mbah Yai Husein karena Ning Firda memiliki sederet jadwal show yang padat. Sebelum berangkat aku menghubungi Ning Shomma (salah satu putri mbah Yai Husein) terlebih dahulu bahwa kami akan on the way kesana, tapi belum sampai aku menyentuh layar untuk menghubungi Ning Shomma, Ning Firda mencegahku, beliau ngendikan
“Jangan dihubungi, kulo ke sana niatnya sowan, kalau ada berarti rezeki kulo, kalau beliau tindak atau wekdal istirahat biar kulo sekadar silaturrahim mawon mriko sama ning-ningnya”. (jangan dihubungi, saya ke sana niatnya bertemu Yai, kalau ada berarti rezeki saya, kalau beliau tidak ada di rumah atau waktunya istirahat biar saya silaturrahim ke sana dengan putri-putrinya)
Aku menimpali dengan perasaan mengharu biru
“Ning, baru kali ini kulo ngantarkan tamu Mbah Yai tanpa harus tanya beliau ada atau tidak ke putra-putrinya” 🥺
Ning Firda melanjutkan “Kulo itu senajan sama keponakan kulo mawon yang sudah jadi Kiai kulo ndak berani tanya dulu ada atau tidak kalau mau sowan ke beliau, karena keponakan kulo itu kyai muda, apalagi kyai sepuh seperti Mbah Yai Husein”.
“Jangan dihubungi, kulo ke sana niatnya sowan, kalau ada berarti rezeki kulo, kalau beliau tindak atau wekdal istirahat biar kulo sekadar silaturrahim mawon mriko sama ning-ningnya”. (jangan dihubungi, saya ke sana niatnya bertemu Yai, kalau ada berarti rezeki saya, kalau beliau tidak ada di rumah atau waktunya istirahat biar saya silaturrahim ke sana dengan putri-putrinya)
Aku menimpali dengan perasaan mengharu biru
“Ning, baru kali ini kulo ngantarkan tamu Mbah Yai tanpa harus tanya beliau ada atau tidak ke putra-putrinya” 🥺
Ning Firda melanjutkan “Kulo itu senajan sama keponakan kulo mawon yang sudah jadi Kiai kulo ndak berani tanya dulu ada atau tidak kalau mau sowan ke beliau, karena keponakan kulo itu kyai muda, apalagi kyai sepuh seperti Mbah Yai Husein”.
Saat itu aku benar-benar kagum dengan akhlak beliau, biasanya temen-temen yang datang dan tanya alamat Mbah Yai selalu menghubungiku lebih dulu untuk minta nomor abdi ndalem Mbah Yai atau nomor putra-putrinya Mbah Yai buat tanya Mbah Yai di ndalem atau tidak, untuk hal ini biasanya aku lihat-lihat sih kalau yang minta nomor masih muda biasanya tidak ku kasih tapi aku sarankan untuk sowan langsung saja. Yang keterlaluan pernah aku punya teman dari luar kota, dia menghubungiku katanya mau sowan dan aku disuruh tanya ke keluarga ndalem apakah Mbah Yai ada khawatir sudah jauh-jauh kesana eeeeeh Mbah Yai gak ada.
Mendengar hal tersebut aku jadi kebakaran bulu ketek, ingin ku marah dan bilang ya sudah gak usah sowan ribet amat.
Hari makin terik feeling-ku nanti sore bakal hujan, kami segera berangkat menuju Karangnongko, sampai di ndalem Mbah Yai Husein jam 12.30, dan tidak diduga, Mbah Yai sedang bersantai sambil menikmati rokok di tirai rumah beliau, banyak tamu yang bercerita merasakan sulit sekali bertemu dengan beliau tapi kali ini Allah melancarkan silaturrahim ini. Kami bersyukur tiada kira, kami disambut oleh Ning Shomma, lalu langsung sungkem kepada Mbah Yai dan mencurhatkan beberapa masalah ummat 😁 sebenarnya tidak cukup waktu sebentar untuk bisa kami berlama-lama dengan beliau tapi mempertimbangkan banyaknya tamu yang sudah antri maka kami langsung izin pamit pulang, tidak ada sesi foto-foto karena bertemu dengan beliau pun bagi kami adalah rezeki. Pun Ning Firda, Mbak Ulfi atau Mbak Marsya yang meskipun datang dari jauh beliau-beliau tidak ingin ada sesi foto demi ta’dzim beliau semua kepada Mbah Yai Husein.
Setelah sowan Mbah Yai kami menghubungi Mbak Eny, dan Mbak Eny mengajak janjian bertemu di Loodst Cafe, karena posisi saat itu Mbak Eny sedang berada di RS. Gatoel menunggu Abahnya yang sedang gerah, dan RS berdekatan dengan kafe, kebetulan kafe Loodst adalah kafe milik Gus Fahmi, salah satu putra Mbah Yai Husein, dan Ning Shomma akhirnya berkenan ikut ke kafe karena Mbak Eny juga merupakan teman lama Ning Shomma, sampai di sana kami bertemu dan sudah heboh seperti bertemu teman lama, umur kami dengan Mbak Eny memang selisih sedikit, tapi soal pengalaman bercinta dan kehidupan Mbak Eny sepertinya sudah banyak melewati garam kehidupan, kepada Mbak Eny lah, Ning Firda, Mbak Marsya dan terutama Mbak Ulfi curhat tentang kisah cintanya, kisah cinta mereka sungguh rumit 😌 ada yang kandas, ada yang ditikung dan ada yang menanti lama jodoh 😁 lalu Mbak Eny memberikan nasihat yang anti mainstream
“Sudah, jangan tergesa-gesa untuk menikah, menikah itu menambah perkara, menambah cucian, menambah pekerjaan, pagi-pagi kalau jomblo enak bisa langsung beraktivitas untuk diri sendiri, kalau sudah menikah pagi-pagi bangun sudah disuruh bikin kopi buat suami, belum nanti kalau sudah punya anak, beneran kok nikah itu nambah biaya dan pekerjaan, sudah enak jomblo saja, menikmati kesendirian dengan penuh bahagia, kalau sudah waktunya dapat jodoh bakal datang sendiri” 🤣🤣🤣
Dan saya mengamini hal-hal semacam itu ketika merasakan bedanya jomblo dan menikah 😂😂😂
“Sudah, jangan tergesa-gesa untuk menikah, menikah itu menambah perkara, menambah cucian, menambah pekerjaan, pagi-pagi kalau jomblo enak bisa langsung beraktivitas untuk diri sendiri, kalau sudah menikah pagi-pagi bangun sudah disuruh bikin kopi buat suami, belum nanti kalau sudah punya anak, beneran kok nikah itu nambah biaya dan pekerjaan, sudah enak jomblo saja, menikmati kesendirian dengan penuh bahagia, kalau sudah waktunya dapat jodoh bakal datang sendiri” 🤣🤣🤣
Dan saya mengamini hal-hal semacam itu ketika merasakan bedanya jomblo dan menikah 😂😂😂
Setelah dirasa cukup kami mendabrus ria lalu kami berpamitan. Aku mengantarkan Ning Shomma pulang ke Karangnongko sedangkan Ning Firda, Mbak Ulfi dan Mbak Marsya kembali melakukan aktifitas dakwah 😁 mengikuti haul di Denanyar.
Banyak pelajaran yang dapat aku ulang kembali saat bertemu dengan muda-mudi para dzurriyah ulama ini. Terutama tentang akhlak, yah. Akhlak bertamu, jangankan sowan Ulama yang pastinya juga memiliki banyak tamu. Kadang aku sendiri saja yang bukan orang penting dan keseharian di rumah mengasuh anak ketika ada orang bertamu tapi gak sopan ya jengkel banget, aku pernah punya pengalaman ada tamu yang gak cuma ketuk pintu tapi gedor-gedor pintu, dan tanpa jeda dok dok dok salamalaikum, dokdokdok salamalaikum, saat itu aku sedang menyusui anakku dan memakai daster pendek, you know lah bagaimana rempongnya emak berdaster kalau lagi nyusuin bayik pasti panik kalau tiba- tiba ada tamu, mau jejeritan dari dalem “tungguu woyyyy masih ganti baju” kok gak enak karena tamunya cowok, trus kalau teriak- teriak yah ntar bayinya kaget malah rewel, tapi suara di ujung pintu sana mulai senyap, kirain udah ngilang, dan ternyata suara berganti di tengah ruangan tepatnya di jendela tek tek tek salamalaikum. Aku teriak “iyaaa waalaikumsalam tunggu sebentar”, tapi tidak berhenti juga gedor-gedor jendela.
Tuhanku, nih orang pindah dari gedor-gedor pintu menuju gedor-gedor jendela kaca, akhirnya aku lepas aktivitas menyusui dan segera nyaut jilbab slobok’an dan lari untuk segera buka pintu karena siapa tahu itu orang mau nagih utang tapi salah alamat, sialnya bayiku mengikutiku hingga terjatuh dari kasur 😭 dan suara gedor-gedor tetap tidak berhenti 😭 walhasil, daripada aku menampakkan wajah kusutku di depan tamu atau tindakan lebih ekstrim lagi (nyelathu misalnya), akhirnya aku wurung membuka pintu dan lebih memilih menggendong anakku yang menangis kejer karena habis jatuh dari kasur.
Aku ingat dulu waktu diajak bapak sowan ke Romo Yai Masbuhin, Suci Manyar Gresik, untuk menjemput pulang adikku yang mondok di sana, aku sampai di pesantren pukul 7 pagi perjalanan dari Surabaya, sampai di sana ndalem masih tutup dan Bapak menyuruhku untuk menunggu hingga ndalem terbuka, Bapak tidak ketuk pintu dan tidak juga salam, Bapak hanya menunggu di teras hingga jam 11 menjelang siang, ku tanya waktu itu karena aku lelah menunggu “Bapak kok dangu mboten salam nopo? Menawi Yai mboten semerap nek wonten sing bade sowan”, lalu Bapak menjawab “tidak usah, nek sowan iku ya sing sabar nunggu”. Lalu tidak lama kemudian abdi ndalem membuka pintu dan keluar rumah lalu barulah diaturkan Yai kalau ada tamu di luar, saat itu aku faham bagaimana adab ketika bertamu yang dicontohkan langsung oleh Bapak, pernah juga ke rumah teman dekat Bapak, Bapak menelfon terlebih dahulu ada atau tidak? Mengganggu atau tidak kalau mau ke sana? Sampai di sana bapak mengetuk pintu dan salam dengan jeda waktu, tidak beruntun, ketika orang di dalam rumah sudah menyahut, Bapak menunggu di teras rumah teman Bapak. Ketika berkunjung ke rumah saudara Bapak cukup salam tidak ujug-ujug buka pintu meskipun itu rumah saudara sendiri.
Sebenarnya adab bertamu adalah adab yang paling mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, seorang tamu memang ketika datang membawa rahmat dan ketika pulang membawa maghfiroh, tapi jangan sampai menjadi seorang tamu yang justru menghilangkan keberkahan dari silaturrahim. Begitu pula sebagai tuan rumah, hendaknya menjadi tuan rumah yang menyenangkan tamu-tamunya, disuguhkan sebaik-baiknya dan bersikap seramah-ramahnya.
Mojokerto, sebelum corona menyerang
Mojokerto, sebelum corona menyerang
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Budayakan berkomentar ヽ(^。^)ノ