Me, Myself and I
Mencintai diri sendiri mungkin terkesan sikap yang egois dan mengesampingkan orang lain. Juga identik dengan narsis. Tapi saya tidak hendak membahas tentang kenarsisan, lebih tepatnya menggeser paradigma tentang kebahagiaan, dari kebahagiaan yang bergantung pada orang lain menuju kebahagiaan yang lahir dari diri sendiri.
Mencintai diri sendiri mungkin terkesan sikap yang egois dan mengesampingkan orang lain. Juga identik dengan narsis. Tapi saya tidak hendak membahas tentang kenarsisan, lebih tepatnya menggeser paradigma tentang kebahagiaan, dari kebahagiaan yang bergantung pada orang lain menuju kebahagiaan yang lahir dari diri sendiri.
Terlalu banyak orang yang berkorban untuk yang lain sehingga melupakan dirinya sendiri. Dalam lingkup keluarga saja, seorang anak harus patuh oleh aturan-aturan seperti sekolah, kegiatan ekstra, harus bersih-bersih rumah membantu orang tua, cita-cita pun kadang masih dikendalikan oleh orang tua, sampai pada hal jodoh. Seorang istri mengabaikan dirinya sendiri demi melayani suami, seorang ibu mengabaikan dirinya sendiri demi merawat anak-anaknya. Ataupun sebaliknya, seorang suami yang mengabaikan dirinya karena menanggung beban dan tanggung jawab terhadap keluarga. Sehingga banyak yang terjebak dalam aktivitas membosankan setiap harinya, berfikir kapan liburnya, berfikir kapan selesainya, berfikir kapan kegiatan membosankan ini akan berakhir. Belum saja berhenti pada aktivitas tersebut kita sudah dihadapkan dengan masalah-masalah yang tidak diharapkan seperti target yang tidak terpenuhi, hasil yang kurang memuaskan atau hal-hal lain yang menunjukkan hasil tidak sempurna bagi seorang perfeksionis, idealis tapi tidak realistis. Otak dipaksa berfikir, hati tergerus dan merasa tersiksa, lalu tinggallah stres, depresi dan datanglah penyakit.
Mencintai diri sendiri
Bagi saya yang kini seorang istri dan ibu, tidak ada yang lebih saya nikmati daripada meraih kebahagiaan untuk diri saya sendiri, saya selalu berusaha membahagiakan diri saya sendiri. Contoh kecil saja, untuk urusan perut, saya harus menjadi orang yang kenyang terlebih dahulu sebelum suami dan anak-anak, terdengar egois bukan? Pagi saya masak lalu makan hingga kenyang, kemudian ngopi, setelah itu anak-anak dan suami saya bangunkan untuk mandi dan menemani mereka makan. Untuk hal memasak, anak-anak saya utamakan makan di rumah, sedangkan saya jika tidak berselera akan mencari makan di luar. Dengan itu saya menjadi ibu yang berbahagia karena merawat rumah dan seisinya dalam keadaan bahagia.
Saya suka nonton, tapi saya memiliki 3 balita. Saya akan pergi menonton bersama adik-adik atau teman saya, sedangkan suami di rumah menunggu anak-anak, pada kesempatan yang berbeda, saya menunggu anak-anak di rumah sedangkan suami pergi ngopi sampai larut malam bersama teman-temannya. Saya tidak marah ataupun merasa berat ketika suami pergi nongkrong bahkan pergi ke luar kota sampai beberapa hari lamanya, karena saya berbahagia dengan diri sendiri, ada atau tidak adanya suami saya tetap berbahagia. Begitu pula dengan suami, ketika kami sedang berada pada jarak yang jauh, kami berbahagia karena kami serasa dekat dan saling percaya.
Rumah kotor? Ya dibersihkan, karena saya bahagia memiliki rumah yang bersih, tapi ketika rumah kotor dan kondisi sudah capek? Ya istirahat sejenak, memilih hal mana yang lebih membahagiakan dengan beristirahat atau sekadar berselancar di dunia maya, tidak perlu memaksa rumah selalu bersih layaknya hotel.
Pada kehamilan ke-6 saya, usia kandungan 7 bulan saya merasa sedih sekali saat dokter kandungan menyatakan bayi saya tidak sehat karena detak jantungnya melemah, 2 opsi yang harus ditempuh adalah dilahirkan saat itu juga tapi tidak menjamin bayi selamat atau ditunggu kelahirannya dengan didrop obat penguat. Saya memilih opsi kedua, dan berhasil melahirkan normal usia 8 bulan, namun tidak lama saya kehilangannya. Sedih? Ya. Tapi jika dibandingkan dengan apabila dia lahir dan sakit-sakitan itu akan lebih menyakitkannya, dan saya lebih bahagia dengan kehilangannya, saya setuju dengan skenario Tuhan tentang dia, Adiba. Begitulah caraku menggeser paradigma bahwa bahagia diperoleh dari diri sendiri
Saya berpendidikan tinggi bukan agar mendapat jodoh yang setara dengan pendidikan saya, saya sekolah tinggi bukan agar kelak anak-anak saya bangga jika ibunya berpendidikan tinggi. Tapi sebagai wujud rasa terima kasih saya kepada Tuhan atas nikmat akal yang diberi. Kalaupun buah dari pendidikan saya adalah menjadikan bermanfaat bagi keluarga juga orang lain, akan bertambahlah rasa syukur saya.
Berbahagia dengan diri sendiri, bahkan jika kita menyadari atas keadaan kita: saya kurus, saya tidak cantik, saya tidak punya uang, dan saya berbahagia dengan melakukan hal yang membuat saya bahagia, tidak menggantungkan pada hal-hal lain yang membuat saya tidak bahagia. Bahagia dengan diri sendiri, bahkan ketika orang-orang yang kita cintai berubah tidak seperti yang kita inginkan atau orang-orang yang kita cintai menjauh atau tidak ada di sisi kita, kita tetap berbahagia.
Berbahagia itu tidak memedulikan ocehan orang lain, tidak memedulikan gunjingan orang lain. Ada banyak hal yang membuat saya bahagia: buku, kopi, komputer, swafoto dengan sedikit filter dan fitur edit, menulis, komputer, skincare, make up, mi instan. Membaca adalah bentuk kebahagiaan, kopi adalah pelengkap hidup, terobsesi dengan komputer, skincare dan make up adalah naluri keperempuanan untuk merawat keindahan wajah dan tubuh, lalu selfi dan bahagia melihat hasil foto bagus, mi instan adalah me time terdahsyat saat malam tiba.
Mencintai diri sendiri karena menyadari bahwa setiap dari kita merupakan mahakarya Tuhan Yang Mahaindah. Berbahagia dengan diri sendiri sejatinya adalah menyadari bahwa diri sendiri adalah berharga paling tidak untuk diri sendiri.
Ketika kita mencintai diri sendiri, kita mampu jujur pada diri sendiri
Ketika kita jujur pada diri sendiri, kita mampu mengenali diri kita sendiri,
Ketahuilah ketika kita mengenali diri sendiri, kita selesai dengan diri kita sendiri.
Ketika kita selesai dengan diri sendiri, kita pun mampu selesai dengan orang lain.
Terimakasih Ning, sangat mencerahkan, kadang kita terlalu peduli dengan orang lain berusaha membahagiakan orang lain sampai lupa dengan diri, padahal kalau kita bahagia, maka orang lainjuga ikut bhagia, salam kenal
BalasHapusAura kebahagiaan itu sebenarnya menular, tanda seseorang mengetahui bahwa dirinya jauh dari sifat hasud adalah ketika melihat orang lain bahagia, ia pun ikut bahagia. Terima kasih telah membaca di sini :)
Hapus❤❤❤❤ iya mbak me time yaa mie instan pedes pedesss
BalasHapusmasukin sawi sama irisan cabe rawit tipis-tipis ya beb..
Hapussiiiip mbak nyai..����
BalasHapusmatur nuwun nyai berkenan membaca di sini :)
Hapuslanjutkan mbak nyaii
BalasHapusdoanya mawon nyai :)
HapusWah, wah, waaah, ternyata, oh, ternyata anakku Uswah ini (hehe...ngaku-ngaku gakpapa, yo) pinter segalanya lho. I like this content of your article hampir senada dengan artikel yang bunda pernah tulis berjudul: (kalau gak salah:Do I have to love myself?) udah lama banget hingga harus di scroll abis di blog mana bunda menulisnya. Konten artikel Uswah sangat bagus dan ini yang belum bisa bunda terapkan dalam blog bunda. In Shaa Allah bunda akan bisa belajar banyak dari Uswah di usia renta ini agar pikun tidak menyapa bunda. Aam
BalasHapusYa Allaah bahagianyaaa tulisan ini dibaca Bunda T.T terharuuu T.T. terima kasih Bunda, njenengan senior saya dalam segala hal, termasuk dalam hal tulis-menulis..
Hapusmasalah kehilangan istri saya kehilangan sampai 3x, omong" sudah lama banget tidak kesini wkwkwk...
BalasHapusudah banyak sarang laba2 di sini mas, wkwkwk.. hwaaa pingin meet up sama mas agus beserta istri dan genduk hayu, padahal kita sama2 mojokerto yaa hahah..
HapusWah bagus nih memang positivitas menilai diri sendiri itu perlu, supaya jadi pribadi yang optimis.
BalasHapus